Mandostar - Selain Michael Jordan, tidak dipungkiri lagi Kobe Bryant, adalah salah satu pemain terhebat di NBA di era modern. Selalu berusaha menampilkan permainan terbaiknya, semangat juang dan mentalitas luar biasanya yang dikenal dengan istilah “Mamba Mentality” membuat Bryant bisa dibilang adalah penerus terdekat Michael Jordan. Maka, tidak heran dunia sontak berduka saat pemain berjuluk The Black Mamba ini meninggal dunia karena kecelakaan helikopter di akhir Januari tahun lalu. Berkenaan dengan momen satu tahun kepergiannya, mari mengulas film dokumenter mengenai perjalanan karier sang legenda yang berjudul Kobe Bryant’s Muse.
Sebagai salah satu bintang terbesar yang pernah berkompetisi di NBA, Kobe Bryant kerap membiarkan permainannya di lapangan berbicara sendiri. Ia terjun ke NBA sebagai salah satu bakat yang paling istimewa, karena ia langsung terjun ke NBA tanpa mengenyam pengalaman basket di kancah universitas.
Karena latar belakang itulah Bryant menjelma menjadi sosok pebasket yang kemudian dikenal banyak orang. Ia dikenal sebagai sosok yang arogan karena ia tidak ingin para pemain lain melecehkannya karena ia datang langsung dari bangku SMA. Untuk itulah ia selalu berusaha menguji hingga ke batas kemampuannya yang membuat kabar tentang etos Bryant tidak ubahnya sebuah legenda urban.
Ia berkelana ke padang gurun untuk bersepeda sejauh 40 mil di tengah malam, berlatih tanpa bola dengan cara yang sama sekali tidak biasa, hingga ke setiap harinya ia selalu mulai berlatih beberapa jam sebelum jadwal latihan tim yang sudah ditentukan.
Disutradarai oleh Gotham Chopra dan dinarasikan sendiri oleh Kobe Bryant, film dokumenter rilisan 2015 ini menggali masa lalu sang bintang, sekarang, dan pada akhirnya, masa depannya. Film ini juga tidak ubahnya potret hebat sepanjang masa yang mendekati senja kariernya, serta meberisikan pula paparan mengenai beban mental dan fisik yang dialami obe Bryant dalam meniti popularitasnya.
Kobe Bryant’s Muse dikemas dalam pendekatan yang minimalis namun tetap stylish. Adegan hitam-putih berpadu dengan video amatir berwarna yang buram serta banyak berisikan cuplikan game lama.
Di sini, Bryant menghabiskan sebagian besar film berbicara ke kamera di ruangan dalam cahaya remang. Ia jujur dan bersemangat, tidak takut mengucapkan kata-kata kasar saat cerita membutuhkannya.
Bagian yang paling menarik dari film dokumenter ini terletak pada bagian hidupnya yang — sampai saat ini — relatif belum trungkap gamblang. Bryant membuka tentang waktu yang dihabiskan di Italia dengan ayahnya, mantan pemain NBA Joe “Jellybean” Bryant, yang menghabiskan tujuh tahun melakukan perdagangan di luar negeri. Sementara kepindahannya ke negara itu pada usia 6 tahun merupakan penyesuaian, film dokumenter tersebut mengungkapkan bahwa kepulangannya ke Philadelphia — pada usia 13 tahun — yang secara efektif akan membentuk sisa hidupnya.
Setelah kembali ke AS, Bryant berjuang untuk menyesuaikan diri sebagai remaja dan sering menemukan dirinya dikucilkan oleh teman-temannya. Bagi pemain, ini akan menjadi momen ketika bola basket, yang sebelumnya hanya aktivitas menyenangkan, akan menjadi tempat perlindungan.
Berputar dari kehidupan pribadinya, film ini juga mencoba untuk membenarkan beberapa tindakan Bryant yang lebih mengerikan di lapangan, yaitu keegoisannya dan perselisihannya dengan mantan rekan setimnya Shaquille O’Neal. Ada perasaan bahwa hampir setiap kekurangannya dapat dibenarkan oleh beberapa peristiwa kehidupan sejauh itu membuatnya tampak agak tak tertahankan.
Tapi untuk semua ketidaksempurnaan Muse, kesuksesan sebenarnya adalah dalam caranya memanusiakan salah satu pemain terhebat dalam sejarah bola basket. Desainnya sendiri mencegahnya menjadi analisis objektif: Selain Bryant, tidak ada orang lain yang diwawancarai selama 82 menit. Dengan cara itu, ini lebih merupakan memoar sinematik. Benar atau salah, kesimpulan yang dia tarik kurang penting daripada pengungkapan tentang apa yang diyakini Bryant sendiri yang membuatnya menjadi seperti sekarang ini. Itu membuatnya lebih kuat dan salah satu atlet terhebat di abad ke-21.
Comments