top of page
  • Writer's picturemandostar

Profil Legenda: Cafu, Bek Kanan Paling Legendaris Dari Brasil


Mandostar - Pemain asal Brasil, Cafu, lahir dengan nama Marcos Evangelista de Morais pada 7 Juni 1970 di sebuah kawasan kumuh atau Favela, ia kemudian dikenal dunia dengan panggilan Cafu. Ia adalah legenda Brasil di lapangan hijau. Cafu lahir di tahun yang sama saat negaranya meraih gelar Piala Dunia untuk kali ketiga.


Selang dua minggu setelah kelahirannya, Carlos Alberto mencetak salah satu gol terbaik sepanjang masa di ajang Piala Dunia 1970. Nama Cafu sendiri melekat pada dirinya tak lepas dari seorang mantan pemain Fluminense dan Botafogo, Cafuringa. Full back kanan terbaik yang menjadi inspirasinya.


Masa kecil Cafu dihabiskan di jalan Jardim Irene, salah satu kawasan paling miskin di Brasil. Berasal dari keluarga tak mampu menempa dirinya untuk tidak menyerah pada nasib. Sepak bola jadi jalan yang ia pilih untuk keluar dari nasib buruk.


Menariknya di awal karier, Cafu pernah mendapat penolakan dari dua klub besar Brasil, Palmeiras dan Santos. Sao Paulo akhirnya mau menerima kemampuannya, itupun dengan sejumlah rintangan cukup berliku. Pelatih akademi Sao Paulo saat itu, Carlinhos Neves bahkan sampai harus memintanya untuk tampil melawan tim lokal, Itaquaquecetuba.


Dari pertandingan itu, ia resmi bergabung ke Sao Paulo. Munculnya Cafu di panggung sepak bola dunia memang menjadi ‘mukzijat’ bagi negeri Samba, Brasil. Sebagai bek sayap, Cafu adalah full back kanan paling lengkap di era sepak bola modern.


Penulis buku sekaligus pundit asal Inggris, Jonathan Wilson pernah mengatakan bahwa bek sayap memiliki peran sangat penting di sepak bola.


“Anehnya, Jack Charlton yang pertama kali menyuarakan pemikiran tersebut. Pada awalnya, kedengaran tidak masuk akal sampai Anda melihat sendiri setiap pentas Piala Dunia, tim yang menang selalu memiliki sepasang bek sayap hebat,”


“Jorginho dan Branco untuk Brasil 1994, Lilian Thuram dan Bixente Lizarazu untuk Prancis 1998, Cafu dan Roberto Carlos untuk Brasil 2002, dan Gianluca Zambrotta serta Fabio Grosso untuk Italia,” kata Wilson.


Cafu bersama dengan Legenda hidup AS Roma, Fransesco Totti.

Buah Tangan Dingin Telê Santana


Kehebatan Cafu sebagai seorang bek sayap tak bisa dilepaskan dari sosok Telê Santana. Ia pernah mengatakan memiliki banyak hutang kepada pelatih revolusioner Brasil tersebut. Dari Santana, ia berani untuk mengubah posisi dari seorang gelandang kanan menjadi bek kanan.


Meski memang pada awal kepindahanya sebagai bek kanan lebih disebabkan Santana tak memiliki banyak opsi pemain lain. Posisi bek kanan Sao Paolo saat itu biasanya diisi oleh Ze Teodoro. Pilihan Santana menempatkannya sebagai bek kanan berbuah hasil manis.


Ia menjadi bek kanan yang mampu menyerang dengan sangat baik dan efektif. Meski begitu, diakui dirinya pada awalnya ia merasa tak suka menjadi bek kanan.


“Saya tidak terlalu menikmati menjadi bek kanan pada awalnya. Saya harus belajar cara menyerang dengan metode berbeda dan itu membutuhkan waktu,” ucapnya.


Kariernya terus melambung tinggi. Pada usia 24 tahun, ia sudah memiliki gelar juara Copa Libertadores sebanyak 2 kali dan gelar juara Liga Brasil bersama Sao Pauolo.


Kariernya usai Piala Dunia 1994 tak terlalu bagus. Tiba pertama kali ke Eropa pada 1995, ia bergabung ke Real Zaragoza. Di sana, ia hanya melakoni 16 laga. Kondisi ini membuatnya memutuskan kembali ke Brasil dan bergabung ke Juventude lalu ke Palmeiras.


Namanya kembali jadi sorotan saat bergabung dengan klub AS Roma dan bermain di pentas Serie A Italia yang diakui sebagai kompetisi paling kompetitif di Eropa saat itu. Bersama AS Roma, Cafu jadi bek sayap paling disegani. 163 caps ia jalani bersama Roma dari 1997 hingga 2003. 1 gelar scudetto berhasil ia dapatkan.


Setelah enam musim di Stadio Olimpico, Cafu pindah ke AC Milan pada usia 33 tahun. Banyak yang mengira bek kanan itu tidak akan menghabiskan lebih dari beberapa tahun di San Siro. Namun, Cafu sekali lagi membuktikan bahwa orang-orang yang meragukannya salah setelah memenangkan gelar liga dalam kampanye debutnya bersama I Rossoneri.



“Ia adalah full back yang luar biasa dalam menyerang tetapi juga sangat kuat dalam bertahan,” begitu pandangan pelatih Juventus, Andrea Pirlo kepada pemain yang pensiun pada 2008 tersebut.


Di level klub, pemain yang memulai karier di Sao Paulo ini juga menjadi legenda di Italia, di mana ia memenangkan Scudetto bersama AS Roma dan AC Milan. Para fans di Italia menjulukinya ‘Il Pendolino’ (Kereta Ekspres), karena kemampuan larinya yang sangat bertenaga.


Bahkan Cafu juga berhasil meraih trofi liga Champions dalam karirnya saat membela tim AC Milan pada tahun 2007, yang saat itu berisi pemain-pemain terkenal lainnya seperti Kaka, Maldini, Inzaghi, Dida, Pirlo, dan lain-lain.



Tinta Emas Cafu di Piala Dunia


Berbicara tentang legenda Piala Dunia, pikiran kita pasti mengarah kepada Pele atau Diego Maradona. Namun, ada satu nama yang tidak boleh dipinggirkan berkat prestasinya tampil di tiga final Piala Dunia berturut-turut. Ia adalah Marcos Evangelista de Morais, atau yang lebih populer dengan nama Cafu.


Pemain belakang Brasil ini mengoleksi medali dari tiga final Piala Dunia berturut-turut, yaitu pada edisi 1994, 1998 dan 2002. Dua kali ia merengkuh trofi emas, yaitu pada tahun 1994 dan 2002, dan sekali sebagai runner-up, pada tahun 1998.


Salah satu bek kanan terbaik di era sepak bola modern ini lahir pada 7 Juni 1970, tepat ketika Pele, Jairzinho dan skuat Brasil lain mengalahkan juara bertahan Inggris untuk memenangi Piala Dunia 1970 di Meksiko.


Selain mencatat tiga penampilan di final Piala Dunia, Cafu juga sampai saat ini menjadi pemain paling banyak membela tim nasional Brasil, dengan jumlah 142 pertandingan resmi. Ia juga mencatat rekor 21 penampilan di Piala Dunia. Sebagai kapten, ia memenangkan Piala Dunia 2002 serta memimpin negaranya meraih dua gelar Copa America dan Piala Konfederasi.


Di level klub, pemain yang memulai karier di Sao Paulo ini juga merupakan legenda di Italia, di mana ia memenangkan Scudetto bersama AS Roma dan AC Milan. Para fans di Italia menjulukinya ‘Il Pendolino’ (Kereta Ekspres), karena kemampuan larinya yang sangat bertenaga.


Sebelum Cafu, beberapa pemain telah tampil di dua Piala Dunia. Banyak dari mereka – terutama dari tim Italia 1930-an dan tim-tim Brasil pasca-perang yang hebat – telah mengangkat trofi dua kali.


Banyak pengamat berpendapat bahwa Cafu sebenarnya menyamai, bahkan telah melebihi torehan Pele. Legenda Brasil ini memang mengoleksi tiga Piala Dunia, yaitu pada edisi 1958, 1962 dan 1970. Namun, edisi 1962 bisa diperdebatkan karena sang legenda terkena cedera dan absen dari sisa turnamen itu, sehingga tak tampil di final 1962 melawan Cekoslowakia.


Ketika tampil di Piala Dunia 1994 untuk pertama kalinya, sama sekali tak terpikirkan bagi Cafu untuk menyamai prestasi sang legenda. Ia tampil di turnamen di Amerika Serikat tersebut setelah membantu Sao Paulo mejuarai Copa Libertadores dan Piala Interkontinental.


Di laga final melawan Italia, Cafu belum dipercaya untuk tampil sebagai starter oleh pelatih Carlos Alberto Parreira. Nasibnya baru berubah ketika Jorginho harus ditarik keluar karena cedera pada menit ke-21. Sisanya merupakan sejarah, Cafu ikut serta mempertahankan clean sheet bagi Selecao sebelum mengalahkan Gli Azzurri lewat adu penalti.


Empat tahun kemudian, cerita sedikit berbeda. Menjadi tim yang sangat diunggulkan di Prancis 1998, Brasil harus menelan pil pahit setelah dihajar 0-3 oleh tuan rumah Prancis di laga final. Meski demikian, Cafu belajar banyak di kegagalan di laga puncak tersebut. Sudah menjadi pilihan utama dengan usia yang semakin matang, Cafu membawa penampilan terbaiknya di edisi 2002.


Hanya beberapa minggu setelah ulang tahunnya yang ke-32, Cafu memimpin Brasil ke final Piala Dunia 2002 di Jepang dan Korea Selatan. Bertindak sebagai kapten, ia memimpin rekan-rekannya membukukan kemenangan 2-0 yang mengesankan atas Jerman di Yokohama. Selecao pun resmi menjadi tim pengoleksi gelar Piala Dunia terbanyak sepanjang sejarah Piala Dunia dengan lima trofi.



Cafu masih mengapteni Brasil di Piala Dunia 2006. Namun, sang juara bertahan terhenti di perempat final. Saat itu, sang bek kanan yang sudah berusia 36 tahun tak lagi energik. Setelah turnamen, ia dan beberapa rekan seperjuangan seperti Roberto Carlos dan Ronaldo Luiz Nazario pun pensiun dari tim nasional. Meski demikian, gaya bermainnya menginspirasi lahirnya bek-bek sayap ofensif di Brasil seperti Dani Alves, Marcelo Vieira dan Douglas Maicon.


Sampai sekarang, rekor Cafu tampil di tiga final berturut-turut masih sulit dipecahkan, dan sepertinya akan sulit disamai selama beberapa dekade ke depan. Ia pantas disejajarkan dengan legenda Piala Dunia lainnya.


Video profil singkat pemain legendaris asal Brasil, Cafu, bisa disaksikan dalam video youtube berikut ini seperti dilansir Starting Eleven Story.


76 views0 comments

Comments


Post: Blog2 Post
bottom of page