Mandostar - Perselisihan antara pemerintah dengan rakyatnya mungkin adalah kisah yang sudah berlangsung sejak jaman dahulu kala dan nampaknya tidak akan pernah berujung. Momen disaat pemegang tahta kekuasaan menyalahgunakan kekuasaan tersebut dan hanya ingin mendapatkan kekuasaan tertinggi dibandingkan berkuasa untuk mensejahterakan rakyat dan negerinya memang sudah jadi cerita lama. Hal itulah yang pada akhirnya menciptakan sistem totalitarian dimana suatu pemerintahan mengontrol segala hal dalam negara.
Kontrol disini tidak hanya pada hal-hal seperti hukum ataupun kekayaan tapi juga sampai kepada hal-hal seperti norma dan mereka berusaha mengontrol bagaimana masyarakat berperilaku sesuai dengan keinginan mereka. Setelah itu semuanya tergantung kepada rakyatnya akan bersikap bagaimana, apakah hanya akan menerima hal tersebut? Atau malah melakukan perlawanan karena adanya perasaan terkekang? Hal itulah yang menjadi poin penting dalam kisah V for Vendetta yang diadaptasi dari komik yang ditulis oleh Alan Moore pada 1982 sampai 1989. Versi filmnya sendiri disutradarai oleh James McTeigue (Ninja Assassin) dan naskahnya ditulis oleh Duo Wachowski (The Matrix Trilogy).
Pada tahun 2020, Inggris dipimpin oleh Chancellor Adam Sutler dari partai Norsefire yang beraliran fasis. Sang Chancellor memimpin dengan pola totalitarian dan benar-benar membatasi kebebasan rakyatnya. Hal yang benar dan salah diatur oleh pemerintah. Bahkan orang-orang dari kaum yang tidak disukai seperti para tahanan politik, homoseksual sampai muslim dimasukkan kedalam camp konsentrasi. Tidak ada satupun orang yang berani menentang rezim ini meskipun banyak yang membencinya. Semuanya takut kepada pemerintah yang akan menangkap bahkan membunuh pihak yang melawan mereka. Tapi ternyata ada seorang misterius yang memakai topeng Guy Fawkes (Hugo Weaving) berani turun ke jalan dan melakukan aksi menentang bahkan melawan pemerintah. Pria bertopeng misterius tersebut menamakan dirinya V.
Pada tanggal 5 November setelah ia menyelamatkan Evey Hammond (Natalie Portman) dari para polisi rahasia pemerintah, V melakukan aksi publik perdananya dengan meledakkan gedung Old Bailey yang merupakan pusat pengadilan. V bahkan kemudian mengumumkan lewat televisi tentang rencana yang akan ia lakukan. Ia mengajak para rakyat yang tidak menyukai rezim totalitarian tersebut untuk turun ke jalan tepat setahun kemudian pada tanggal 5 November untuk secara bersama menggulingkan pemerintahan, bahkan V berencana meledakkan gedung parlemen.
Sekedar info, topeng yang dipakai V berasal dari sosok nyata. Guy Fawkes memang bukan tokoh fiksi. Guy Fawkes termasuk satu dari beberapa tokoh yang berperan dalam rencana pembunuhan terhadap King James I pada 1605 namun gagal dan pada akhirnya ia dieksekusi pada tahun 1606. Rencana tersebut dinamakan Gunpowder Plot, dan memang berlangsung pada 5 November 1605. Rencananya juga tidak jauh beda dengan rencana V, yakni meledakkan House of Lords pada tanggal 5 November. V for Vendetta memang adalah kisah tentang bagaimana kekuatan yang muncul dari persatuan rakyat dapat menggulingkan sebuah kekuasaan seperti apapun.
Jika rakyat sudah bersatu memang tidak ada yang tidak mungkin, dan hal tersebut sudah sering dibuktikan di dunia nyata. Permasalahannya adalah tidak semua orang berani menjadi pencetus ide perlawanan tersebut dan menjalankannya. Untuk itulah terkadang perlu cara ekstrim untuk bisa memantik keberanian dan menampar kesadaran rakyat terhadap penindasan yang menimpa mereka. Dari situlah pertanyaan muncul mengenai apakah kekerasan bahkan sampai pembunuhan yang dilakukan oleh V memang perlu dan bisa dibenarkan? Tapi toh ambiguitas moral tersebut sudah sering dibuktikan dalam berbagai kejadian dimana rakyat akan bersatu jika muncul sebuah momen heroik atau disaat pemerintah melakukan hal yang jauh kelewat batas dan biasanya berkaitan dengan hilangnya nyawa satu atau banyak orang.
Kritikan bagi sistem totalitarian juga amat terasa disini. Bahkan dalam V for Vendetta sistem ini digambarkan tidak punya sisi positif sedikitpun. Sebenarnya hal ini sedikit disayangkan, mengingat tindakan yang dilakukan oleh V sudah terasa abu-abu dan ambigu, mengapa tidak sekalian saja buat para pemerintah totalitarian ini sebagai pihak abu-abu juga? Hal ini sebenarnya bisa dilakukan dengan sedikit memberikan alasan mengenai pemakaian sistem ini pada saat itu, jadi yang muncul bukanlah penggambaran abu-abu melawan hitam seperti yang nampak pada film, namun menjadi abu-abu melawan abu-abu. Ah saya rasa itu akan membuat film ini makin menarik dan makin terasa mendalam. Saya juga kurang setuju dengan pendapat V bahwa "Seharusnya bukan rakyat yang takut pada pemerintah, namun pemerintah yang takut pada rakyat"
Tentu anda pernah mendengar kisah tentang raja yang mendapat ramalan bahwa anaknya nanti akan menggulingkan dirinya jika sudah dewasa. Sang raja menjadi takut pada anaknya dan berusaha membununya. Tapi pada akhirnya justru rasa takut itu yang membuat sang raja jatuh. Hal itulah yang juga akan terjadi jika pemerintah takut pada rakyat. Pemerintah bisa jadi bertindak sama jauhnya dengan yang terjadi pada film ini, dan tetap akan menimbulkan dampak negatif yang besar.
Walaupun begitu film ini sudah mampu menyampaikan berbagai pesannya dengan baik dan mengena. Konsep tentang topeng yang dipakai V sedikit mengingatkan saya pada alasan Bruce Wayne versi Nolan mengenakan kostum Batman. Ide dasarnya bukanlah topeng atau siapa di balik topeng tersebut, namun ideologi yang dibawa. Topeng hanyalah menjadi simbol saja. Begitu pula dengan sosok V yang tidak pernah terlihat mukanya. Topeng Guy Fawkes yang ia pakai hanyalah simbol perlawanan. Tidak penting siapa sosok dibalik topeng tersebut, yang penting adalah ide yang ia miliki.
Bicara tentang sosok V jelas sosok Hugo Weaving patut diberi pujian. Wajah dan ekspresinya memang tak pernah terlihat, tapi ia mampu memberikan sebuah penampilan yang ikonik hanya lewat suara yang khas dan gestur yang begitu luwes dan terkadang unik. Meski tidak pernah melihat wajahnya, penonton bisa memahami apa yang ia maksud. Dasarnya sama saja dengan konsep ide tadi, orang tidak tahu siapa sosok dibalik topeng, tapi mereka bisa mengerti ide yang ia bawa dari segala perbuatannya. Kemudian ada juga sosok Natalie Portman yang juga bagus. Tapi yang paling menonjol adalah totalitasnya dimana Portman tidak segan menggunduli kepalanya secara nyata.
Namun V for Vendetta tidak hanya melulu soal pamer ideologi dan politik. Salah satu faktor utama keberhasilan film ini adalah mampu menyeimbangkan faktor politik tersebut dengan suguhan adegan aksi yang sangat menarik. Mungkin special effect yang ada tidak terlalu mewah, namun penanganannya yang pas plus dibalut iringan musik epik buatan Dario Marianelli, V for Vendetta mampu tampil dengan begitu keren. Dua aksi peledakan yang ada di film ini mampu tampil begitu megah namun punya porsi yang tidak berlebihan.
Semua itu masih ditambah aksi keren dari sosok V yang beraksi hanya bermodalkan beberapa pisau saja. Seringkali memang penggunaan pisau bakal jauh terlihat lebih keren dari senjata api seperti apapun. Pada akhirnya mungkin tidak semua orang sepaham dengan ide-ide yang disampaikan dalam V for Vendetta, namun jelas film ini mampu menggabungkan berbagai sindiran yang cukup tajam dan mengenai dengan berbagai adegan aksi yang menghibur. Saat sebuah film mampu menggabungkan dua hal itu dengan baik, maka itulah bukti bahwa film itu spesial. Saya yakin V for Vendetta akan terus diingat, seperti tanggal 5 November. Remember remember, the 5th of November.
Berikut ini bisa disaksikan video youtube Trailer dari film V for Vendetta (2005).
Comentários